Jakarta – Arbain Rambey mantan Jurnalis foto senior Harian Kompas membagikan kisahnya saat memotret artis.
Menurutnya walau wartawan resmi dan membawa undangan dari penyelenggara, memotret pertunjukan artis terkenal tidak bisa untuk seluruh pertunjukan.
“Biasanya pemotretan diizinkan hanya untuk tiga lagu pertama, bahkan pada artis super besar pemotretan hanya diizinkan untuk lagu pertama saja, ” tulisnya di akun media sosialnya, Facebook Sabtu (27/01/2023).
Memotret pertunjukan artis besar menyangkut uang dalam jumlah besar. Foto sang artis masuk dalam lingkaran “merchandise” atau barang tentang sang bintang yang bisa diperjualbelikan.
“Suatu hari pada tahun 1995, satu hari setelah saya memotret seorang artis terkenal dan foto itu dimuat di harian Kompas,” tulisnya.
“Serombongan siswa SMU datang ke laboratorium cuci cetak foto Harian Kompas di Jalan Palmerah, Jakarta Barat. Mereka minta izin untuk mencetak foto dari artis yang saya potret itu. Waktu itu, negatif film dipinjamkan dengan cuma-cuma, dan para remaja itu mencetak foto-foto dalam jumlah sangat banyak.”
“Beberapa hari kemudian salah satu anggota panitia penyelenggara pertunjukan menelepon saya dan mengatakan bahwa saya dan Harian Kompas sebenarnya tidak boleh mengkomersialkan foto-foto artis. Namun karena saya bisa membuktikan bahwa Harian Kompas tidak menjualnya, persoalan tidak melebar lagi,” sambung Arbain dalam postingannya.
Arbain lebih jauh menjelaskan, dalam pertunjukan-pertunjukan besar, udangan untuk memotret biasanya disertai perjanjian bahwa foto yang dibuat sang wartawan hanya dipakai untuk publikasi di media tempatnya bekerja saja.
Foto yang dihasilkan dari wartawan yang diundang, sungguh-sungguh tidak boleh dipakai untuk keperluan apa pun, apalagi diperjualbelikan.
Contoh foto-foto pertunjukan Michael Jackson di masa lalu yang diedarkan kantor-kantor berita, umumnya ada pemberitahuan batas tanggal pemuatannya.
Arbain juga bercerita kenangannya memotret Beyonce Pada tanggal 1 November 2007 saat berlansung konser di Jakarta, sempat terjadi kehebohan.
“Lebih dari seratus wartawan ingin masuk meliput dan memotret sementara undangan resmi panitia hanya kepada sedikit wartawan berkamera saja. Waktu itu akhirnya kompromi dilakukan, semua wartawan boleh masuk tetapi berdiri di deret paling belakang,” ungkapnya dalam postingan.
Demikian pula saat Thalia tampil di Jakarta 27 Agustus 1996.
Ratusan permintaan untuk mencetak fotonya datang kepadanya.
“saya hanya berani mencetakkan untuk ibu saya yang memang sangat mengagumi Thalia,” tutupnya dalam postingan Facebook. (jm/pr)
Tinggalkan Balasan