Jakarta – Asosiasi pengacara Indonesia-Amerika Serikat mengapresiasi keputusan MKMK yang memberhentikan Anwar Usman sebagai Hakim Ketua MK, serta melarang Anwar terlibat dalam setiap pemeriksaan perkara perselisihan hasil Pemilu. Meski belum sempurna, hal ini penting untuk memulihkan kepercayaan masyarakat dalam penyelenggaraan hukum di Indonesia.

“Tanpa adanya sistem hukum yang bisa dipercaya sepenuhnya oleh masyarakat, konsep negara hukum akan jatuh pada rezim anarkis atau menjadi negara totalitarian,” kata Michael B. Indrajana, juru bicara Indonesian American Lawyers Association (IALA).

Michael menambahkan bahwa pemulihan kepercayaan publik jelas membutuhkan waktu terutama setelah guncangan yang hebat atas kredibilitas, integritas dan marwah MK. Namun, prinsip bahwa kepercayaan masyarakat atas sistem hukum peradilan dan supremasi hukum sipil (civil law) adalah salah satu landasan terpenting bagi kelangsungan demokrasi di negara manapun.

IALA sendiri baru saja menyelenggarakan serangkaian diskusi ilmiah bertajuk “The Critical Hour”, dengan fokus pada tema “Judicialization of Politics: Bird’s Eye View from the U.S. and Indonesia”. Diskusi ini melibatkan advokat dan praktisi hukum dari diaspora Indonesia yang berbasis di AS, Anggota IALA, serta advokat senior dari Indonesia.

Mereka  membahas yudisialisasi politik dan membandingkan sistem peradilan di AS dan Indonesia, termasuk penanganan konflik hukum di kedua negara. Acara ini diadakan sebagai tanggapan atas berbagai peristiwa terkini yang telah mengikis kepercayaan publik terhadap pemerintahan di AS dan Indonesia akibat ketidakpastian hukum.

Diketahui di AS, saat ini baru saja menyelesaikan pemilihan umum paruh waktu yang dimenangkan oleh partai Demokrat. Aementara di Indonesia, fokusnya adalah pada kontroversi hukum dan politik yang muncul dari keputusan Mahkamah Konstitusi terkait batas usia calon presiden dan wakil presiden.

Diskusi dipimpin oleh Bhirawa J. Arifi dari Badranaya Partnership di Jakarta sebagai moderator, yang membuka pembahasan mengenai judisialisasi politik dan kondisi politik ketatanegaraan saat ini di Indonesia dan AS.

Pemaparan kemudian dilanjutkan oleh Michael B. Indrajana, seorang pengacara Indonesia-Amerika yang berpraktik di San Mateo, California dan anggota Indonesian American Lawyers Association (IALA). Seperti diketahui, Michael adalah pengacara 57 ahli waris korban kecelakaan udara Boeing 737-MAX Lion Air Penerbangan JT 610 yang menggugat secara perdata melawan Boeing di Federal Court di negara bagian Illinois, AS.

“Bahwa masalah utama bukanlah isi dari Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 itu sendiri, melainkan konflik kepentingan yang terkait dengan putusan tersebut yang menyebabkan ketidakpastian hukum,” terang Michael pada keterangan tertulis.

“Ketua MK, Anwar Usman, terlibat secara langsung karena memiliki hubungan keluarga dengan Gibran Rakabuming Raka, keponakannya, yang menimbulkan pertentangan etik serius dan pelanggaran Pasal 17 UU No. 48 (2009) tentang Kekuasaan Kehakiman,” sambungnya.

Para narasumber menyoroti beberapa aspek konflik dari putusan tersebut: Pertama, Keputusan MK yang menambahkan klausul terkait jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah, dianggap melebihi kewenangan MK karena tidak melalui proses legislasi yang sah sesuai UU No. 24 (2003) tentang Mahkamah Konstitusi.

Kedua, Putusan MK ini dianggap batal karena cacat hukum akibat konflik kepentingan. Ada potensi konflik antara Pasal 10 UU No. 24 (2003) tentang Mahkamah Konstitusi, yang menyatakan bahwa putusan MK bersifat final, dan Pasal 17 UU No. 48 (2009) tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menyebutkan bahwa putusan yang melanggar hukum dinyatakan tidak sah.

Para pembicara dalam diskusi tersebut mengamati kesamaan antara aturan mengenai konflik kepentingan yang terdapat dalam Pasal 17 UU No. 48 (2009) tentang Kekuasaan Kehakiman di Indonesia dan ABA Model Code of Judicial Conduct, Canon 2, Rule 2.11 di AS, terkait dengan diskualifikasi hakim dalam kasus tertentu.

Namun, mereka menekankan bahwa kontroversi utama di Indonesia saat ini adalah persepsi publik tentang konflik kepentingan, khususnya dalam kasus di mana Anwar Usman tidak mengundurkan diri (self recusal) sebagai Hakim Ketua yang turut serta menyidangkan perkara tersebut, sehingga keputusan MK itu menimbulkan pertanyaan apakah hukum sudah berjalan secara adil dan netral.

Pada akhir diskusi, para narasumber menekankan pentingnya menjaga kredibilitas, integritas, dan etika dalam sistem hukum, baik di AS maupun di Indonesia. Mereka berpendapat bahwa kepercayaan publik terhadap sistem hukum yang berintegritas dan adil bergantung pada reputasi dan kredibilitas ahli hukum, pengacara, dan institusi kehakiman.

Di setiap negara, termasuk AS yang dianggap sebagai demokrasi tertua di era modern, dan Indonesia yang telah membuat kemajuan sejak 1998, konflik dan tantangan adalah bagian normal dari perkembangan demokrasi, sering disebut sebagai “growing pains of democracy.”

Selain Michael dan Bhirawa, para narasumber anggota-anggota IALA yang hadir pada diskusi ini lainnya adalah yaitu Albertus M. Alfridijanta (New York dan England & Wales), Lia Sundah Suntoso (New York), Jason Y. Lie (Los Angeles) dan advokat senior Saor Siagian.

“Tekanan publik adalah tanda jelas bahwa demokrasi di Indonesia sedang diuji. Namun selama seluruh elemen masyarakat bergerak bersama, proses demokrasi akan terus berlangsung dan menjadi semakin matang,” pungkas Bhirawa. (rls/pr)