Fakfak – Pemasangan patok di Tanjung Kiriana Kampung Saharey Distrik Fakfak Timur Kabupaten Fakfak, Papua Barat memakai logo Pemerintah Kaimana menjadi diskusi hangat kurang lebih 8 jam berlangsung di salah satu WhatsApp Group, Minggu (26/11/2023) sore pukul 16.38 WIT hingga Pukul 23.00 WIT.

Dalam diskusi hangat itu, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Fakfak diminta segera merespon soal pemasangan patok tersebut dengan menelusuri apakah berkaitan potensi sumur blok 5 samai di wilayah Karas.

Apakah juga juga berkaitan wacana pemerintah mau membangun Smelter di Nusalasi Distrik Karas, perebutan Objek wisata Toran, Perusahaan kayu Log yang pindah dari Aroba ke Fakfak dan beroperasi dari kampung Gaka dan Guriasa di distrik Buruway.

“Beta (saya) Harap jgn (jangan) pandang sebelah mata soal pemasangan patok di Tanjung Kiryana. Krn (karena) bagi Beta semua ini ada kaitannya. Apalagi yg (yang) di pasang dalam papan nama tersebut ada Logo pemerintah Kaimana lewat distrik Buruway,” kata Adi Rafles Gwasgwas salah satu anggota WhatsApp Group tersebut.

Menanggapi itu, Jubair Hegemur sepakat dan berharap masyarakat Adat Mbaham (pattimunin) dan Pemerintah atau stakeholder menaruh  perhatian untuk segera memfasilitasi pertemuan.

“Berharap masyarakat Adat Mbaham (pattimunin) serta Pemerintah (Stakeholder) menaruh  perhatian unk (untuk) segera memfasilitasi pertemuan unk menyelesaikan batas batas tsb (tersebut), unk kembali ke  batas yg (yang) SDH (sudah) di tentukan oleh kedua petuanan (masyarakat adat) sehingga kedepan pemerintah kab Fakfak TIDAK (tidak) pusing dgn (dengan) batas serta investasi yg akan masuk di wilayah tanah besar Mbaham ini,” ujar Jubair Hegemur.

Terkait masalah klaim mengklaim patok-mematok wilayah, menurut Moh Heremba, harus dipertegas perbedaan justifikasi aturan mana rana de fakto, mana ranah de jure dan yang sudah legal formal.

“Masalah Batas Wilayah Administratif Pemerintah adalah regulasi negara/formal teritory yang isinya ada lahan dan makhluk hidup, termasuk overlap hak Ulayat,” ujarnya.

Menurutnya lagi, patok mematok hak ulayat masyarakat hukum tidak bisa menggugurkan keabsahan wilayah teritory administratif Pemerintahan (paten karena susdah di undangkan dan memiliki kekuatan dan kepastian hukum).

“Patokannya koordinat yang secara aktual di validasi dgn (dengan) data, data lokasi dan data atribut. Sedangkan pendekatan wilayah adat itu bersifat geneologis, bukan teritory,” ujar Moh Heremba.

Bila fakta lapangan ditemui overlap, sambung Moh Heremba, maka pendekatannya lewat resolusi konflik (tidak menambah dan mengurasi teritory formal administratif).

“Jika ada resources di wilayah perbatasan yang overlap hak ulayat, maka pendekatannya adalah sosial revitalisasi, bukan tambah kurang wilayah administratif batas pemerintahan,” kata Moh Heremba.

“Lalu pendekatan social revitalisasi itu kongkritnya seperti apa….? saya kasi contoh di seputar air terjun kiti-kiti mau di kembangkan program Pariwisata dengan spot” wisata, lalu di dalam master plan ada overlap hak ulayat marga dari Kambala punya wilayah ada juga ada di situ, maka Pemda Fakfak fasilitasi dgn sejumlah opsi investasi pada kedua pihak,” tuturnya.

Sambung Moh Heremba, “Kita mau bangun 4 vila, jadi kamorang yang dari Kambala bangun 2 vila yang dari Petuanan ati-ati bangun 2 vila. Hasil olah bisnisnya menjadi income masing-masing tapi bayar pajak di Fakfak. Jika hal yang sama juga ada di Kambala, marga yang di Karas yang kebetulan punya hak ulayat juga ada di Kambala, buat kesepakatan yang sama dan pajaknya bayar di Pemda Kaimana. Bagaimana dgn Investasi lain….? Misalnya bangun Smelter di Karas misalnya…..?,” tanya Moh Heremba.

Point ini, saran Moh Heremba, bisa di fasilitasi dalam Assessment AMDAL, baik yang terkait dengan CSR Program juga rekrutmen tenaga Kerja komponennya secara detail.

“Di masukan dalam dokumen AMDAL agar bisa di akomudir dalam CSR Program yang di dalamnya sudah termasuk kuota tenaga kerja dari masing-masing wilayah adat, program pendidikan dan beasiswa, rekruitment tenaga kerja, rekanan vendor dan suplayer dan lain-lain,” jelas Moh Heremba.

Ketua Dewan Adat Mbaham Matta Kabupaten Fakfak, Demianus Tuturop mengakui batas pemerintah Kabupaten Fakfak sudah fix sejak Kaimana dimekarkan menjadi kabupaten dari kabupaten induk Fakfak.

“Hak tanah ulayat juga sudah fix sejak hiret kwah tondi kwah sesuai 6 klaim hak ulayat adat. Klau org2 dr Fakfak ini mau tambah dgn MADEWANA…br hadapan dgn kami Mbaham Matta silahkn biar kita bicara dr hiret kwah tondi kwah,” ujar Ketua Dewan Adat Mbaham Matta.

Moh Heremba menegaskan bahwa, pasang patok oleh masing-masing masyarakat hukum adat tidak bisa jadi barang bukti naik banding, karena alat buktinya bersifat de facto geneologis.

“Jadi tidak bisa menggugurkan regulasi teritory alias tidak bisa kasi tambah dan kasi kurang batas wilayah Kabupaten,” tegas Moh Heremba.

Jawab Ketua Dewan Adata Mbaham Matta, Demianus Tuturop “Putusan hukum adat tuk tanah adat tdk bisa dianulir oleh hukum positif,” kata Demianus Tuturop.

Moh Heremba menjelaskan, dalam wilayah hukum tata negara, kepastian hukumnya di jamin, hanya wilayah administratif pemerintahan tidak bisa di kasi kurang oleh patok hak ulayat.

“Yang kurang atau bertambah itu hanya terjadi dalam obyek sengketa hak Ulayat,” jelasnya mengakhiri.

Dilansir rmolmanokwari.id, salah satu anak adat Suku Mbaham, Kubu Rafles Gwasgwas memprotes keras pemasangan patok wilayah secara sepihak dari Suku Madewana Kaimana di wilayah Tanjung Kiriana

“Kami tidak terima dengan klaim batas wilayah sepihak dari masyarakat adat Suku Madewana Kaimana atas wilayah masyarakat adat Mbaham di Petuanan Ati-ati,” kata Kubu, Sabtu (25/11).

Kubu mengatakan, penyampaian masyarakat adat Kaimana dalam beberapa pertemuan menyebutkan batas wilayah adat mereka sampai ke Tanjung Kiriana.

“Sehingga klaim sepihak mereka ini kami merasa tidak benar, dan kami menolak itu serta kami tetap berpegang teguh pada kesepakatan kedua raja yakni Raja Ati-ati dan Namatota di mana batasnya itu ada di Tanjung Besi,”ujarnya.

Dengan melihat, ada masyarakat adat Buruwai Kaimana yang pada 11 November 2023 memasang patok di wilayah Toran Distrik Karas dan memasang patok lagi di wilayah Tanjung Kiriana.

“Di mana kami merasa mereka telah mencaplok sangat jauh wilayah adat kami, dengan memasang papan nama bertuliskan tanah adat ini milik Suku Madewana Kaimana,”katanya.

Untuk itu,kata dia, secara umum masyarakat adat Mbaham, khususnya warga Fakfak Timur atau Pattimuni menolak pemasangan patok secara sepihak tersebut.

“Karena dari leluhur kami sudah tahu batas wilayah, kami antara sesama masyarakat adat juga sudah bersepakat sebelumnya untuk menetapkan batas wilayah di Tanjung Besi,”ujarnya.

Pemasangan patok oleh Suku Madewana Kaimana ini dilakukan secara sepihak dan tidak ada pemberitahuan sama sekali sebelumnya, sehingga pihaknya merasa tertipu.

“Kemudian mereka hanya menyampaikan masyarakat Mbaham Fakfak tunggu undangan untuk duduk bersama dan bahas, sehingga kami mau tegaskan di sini tidak akan lari,”katanya.

Namun, pihaknya meminta pertemuan antara sesama masyarakat adat pada 2 kabupaten tetangga itu harus berlangsung di Tanjung Kiriana.

“Karena kami ingin tahu atas dasar apa dan mereka punya apa di Tanjung Kiriana, sampai bisa datang memasang patok di wilayah kami,”ujarnya.

Pihaknya merasa terpukul dan terlecehkan dengan pemasangan patok tersebut, dan meminta persoalan ini harus dituntaskan.

“Kami meminta kedua pemerintah untuk segera memfasilitasi pertemuan antara kedua masyarakat adat dan bertemu di wilayah yang masih menjadi saling klaim yakni di Tanjung Kiriana,” tambah dia. (pr)