Saumlaki – Fakta persidangan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) terkait Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD) fiktif pada Badan pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Kabupaten Kepulauan Tanimbar menghebohkan publik.

Terkuak dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim Tipikor Haris Tewa, pada Pengadilan Negeri Ambon, Jumat (15/12/2023), beberapa pimpinan DPRD Kabupaten Kepulauan Tanimbar menemui Petrus Fatlolon (Bupati Kepulauan Tanimbar saat itu-red) yakni Jaflaun Batlajery, Jidon Kelmanutu, dan Ricky Jauwerissa untuk membahas deadlock yang terjadi saat pembahasan rapat paripurna APBD 2020.

Parahnya lagi, Ricky Jauwerissa mewakili 25 anggota DPRD Kabupaten Kepulauan Tanimbar untuk meminta Petrus Fatlolon memberikan Rp50 juta kepada masing-masing anggota DPRD yang bila ditotal mencapai Rp 1,25 miliar.

Fakta persidangan ini menggambarkan betapa bobroknya moral para anggota dewan yang terhormat.

Salah satu pegiat sosial di Tanimbar yang tak mau diberitakan namanya beranggapan bawa perilaku sejumlah oknum anggota dewan ini telah menyalahi kode etik yaitu melakukan  penyangkalan terhadap martabat, kehormatan, citra dan kredibilitas DPRD.

“Jika benar sejumlah anggota DPRD meminta imbalan seperti yang tergambar dalam persidangan maka sikap wakil rakyat ini terlalu berlebihan. Itu sikap dan perilaku layaknya preman. Moral yang bobrok ditunjukkan oleh mereka untuk memuluskan niat busuk demi kepentingan pribadi yang dirancang lewat deadlock rapat paripurna APBD,” kata Sumber di Saumlaki, Sabtu (16/12/2023).

Dikatakan, salah satu fungsi DPRD yang seharusnya dilakukan adalah pengawasan anggaran, namun justru terbalik. Perbuatan mereka seolah-olah menyerupai para perompak yang hendak melakukan perampokan uang negara dengan cara yang halus.

Anggota dewan menurutnya harus bersikap profesional dalam melakukan hubungan dengan mitra kerja, seperti eksekutif. Dan karenanya, setiap anggota DPRD dalam menjalankan fungsi, tugas, dan kewenanganya harus untuk  kepentingan umum, bukan kepentingan pribadi dan atau korporasi.

“Mereka adalah wakil rakyat yang  seharusnya berjuang demi rakyat bukan sebaliknya berjuang untuk perut sendiri. Ini menunjukan sikap tidak terpuji yang menghancurkan harkat dan martabat mereka sendiri sebagai wakil rakyat yang terhormat,” tegasnya.

Perilaku oknum anggota DPRD ini merupakan pelanggaran kode etik profesi yakni tidak mencerminkan  bagaimana seharusnya berbuat dan sekaligus menjamin mutu profesi itu dimata masyarakat sebagai owner.

Menurutnya, gaji yang diterima setiap anggota DPRD Kabupaten atau Kota berkisar antara Rp36 juta hingga Rp45 juta per bulan, itu sudah sudah termasuk potongan PPh 21 dan pajak penghasilan sebesar 15 persen.

“Seharusnya mereka bekerja dengan jujur, toh gaji mereka besar, tapi mengapa harus melakukan aksi preman seperti itu?” herannya.

Ia menambahkan, jika etika para anggota dewan yang terhormat terus seperti ini, maka martabat orang Tanimbar akan terus tercoreng di mata publik.

Disisi lain, sumber meminta Badan Kehormatan Dewan untuk memeriksa para wakil rakyat yang telah menciderahi nilai-nilai demokrasi dan upaya pemberantasan korupsi di negeri ini.

“Korupsi adalah musuh kita bersama. Saya tidak bermaksud menjustifikasi sejumlah oknum anggota dewan yang terhormat itu sebagai koruptor, tetapi berdasarkan fakta persidangan yang telah terekspose dan menjadi konsumsi publik, seharusnya BK DPRD Kabupaten Kepulauan Tanimbar segera mengambil langkah” pintanya.

Dia menyatakan, jika nanti tidak ada sanksi pemecatan, tetapi setidaknya ada sanksi sosial. Sehingga masyarakat tidak lagi memberi ruang kepada mereka di periode mendatang. (bn/pr)