Di tengah geliat digitalisasi pelayanan publik, Dinas Pendidikan Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB) tampaknya masih tertinggal. Proses yang seharusnya cepat dan efisien justru tersendat oleh birokrasi lama yang berbelit.

Ketika sistem sudah digital, tetapi masih menuntut tatap muka dan tumpukan berkas fisik, maka persoalannya bukan pada teknologinya—melainkan pada pola kerja yang tak kunjung berubah.

Ini bukan sekadar soal kenyamanan, tapi soal efektivitas dan akuntabilitas layanan publik.Ketika sekolah harus bolak-balik membawa dokumen fisik hanya untuk validasi yang seharusnya bisa dilakukan dalam sistem, maka sudah waktunya kita menyebut ini apa adanya: pemborosan waktu, energi, dan anggaran.

Layanan birokrasi di dinas pendidikan SBB, Maluku mendesak untuk dievaluasi secara total. Pasalnya bukan sekadar stagnasi atau kurangnya progres, melainkan sistem birokrasi yang justru kian hari semakin mempersulit para pelaksana pendidikan di lapangan. Kepala sekolah dan operator di wilayah-wilayah terluar seperti Huamual Barat, Manipa, Buano, dan Kelang harus berjibaku dengan proses administrasi yang berbelit, lamban, dan tak jarang terasa tidak masuk akal. Alih-alih mempermudah, birokrasi pendidikan kini menjadi beban tambahan yang menguras energi, waktu, dan biaya.

Ini bukan sekadar keluhan emosional, tapi jeritan nyata dari lapangan—jeritan yang terlalu lama diredam oleh rasa takut: takut diabaikan, takut dipersulit, takut dianggap pembangkang. Akibatnya, banyak yang memilih diam, memendam kecewa, dan bertahan dalam sistem yang tidak berpihak.

Diam bukan berarti setuju, tapi karena bicara pun sering kali tidak dianggap. Maka sudah saatnya suara-suara dari pinggiran ini mendapat tempat dan perhatian yang layak.

Bupati perlu menginstruksikan Kepala Dinas Pendidikan untuk turun langsung ke lapangan dan memastikan secara nyata kondisi pelayanan publik di bawah.

Tanyakan kepada masyarakat yang setiap waktu berurusan di kantor dinas pendidikan, khususnya mereka yang berasal jauh dari luar Kota Piru, bagaimana pengalaman mereka dalam berurusan dengan pegawai dinas pendidikan di kantor layanan public itu.

Layanan pengaduan seperti SMS atau sistem pelaporan tidak akan efektif jika tidak dibarengi dengan niat tulus untuk memperbaiki sistem. Fungsi manajemen dan pengawasan Kepala Dinas Pendidikan harus ditingkatkan. Jangan sampai laporan kinerja pegawai hanya bersifat “asal bapak senang”.

Jika Kepala Dinas Pendidikan kurang peka terhadap kondisi ini, perlu dilakukan evaluasi menyeluruh. Dan bila evaluasi menunjukkan ketidaksiapan dalam memimpin, maka mengeser kursi kepemimpinan adalah pilihan yang patut dipertimbangkan oleh Bupati.

Di tengah semangat digitalisasi yang digaungkan pemerintah pusat, SBB justru menunjukkan wajah birokrasi lama: lamban, tidak adaptif, dan membebani. Perubahan data sederhana, misalnya dalam sistem Dapodik seperti nama, NIK, atau nomor rekening BOS, seharusnya bisa diselesaikan dengan cepat, berkoordinasi lewat pesan sms, telpon, email, WhatsApp, atau media daring lainnya.

Namun faktanya, para kepala sekolah dan operator tetap diwajibkan datang langsung ke kantor dinas di Piru hanya untuk mengurus hal-hal yang sebenarnya bisa diselesaikan dari jarak jauh.

Grup WhatsApp resmi sesuai tingkat satuan pendidikan di SBB ada, tetapi tidak dimanfaatkan secara optimal. Untuk apa dibentuk, jika tidak dimanfaatkan maksimal?

Ironis, proses validasi RKAS tahun 2025 untuk satuan pendidikan dari PAUD hingga SMP masih terjebak dalam pola lama birokrasi manual.

Padahal, Aplikasi ARKAS dikembangkan dengan tujuan mulia—mempermudah dan mempercepat proses perencanaan serta pelaporan anggaran sekolah. Namun alih-alih dimanfaatkan secara maksimal, kepala sekolah tetap diminta mencetak dokumen fisik, membawa berkas ke dinas, dan menunggu tanpa kepastian.

Proses validasi yang seharusnya bisa diselesaikan dalam sistem, malah berujung pada panggilan tatap muka berulang kali. Seolah-olah, pertemuan langsung menjadi ritual sakral yang tak bisa diganggu gugat, meski jelas membuang waktu, energi, dan anggaran.

Lebih aneh lagi, dalam aplikasi RKAS sendiri tertulis bahwa dinas membutuhkan waktu 7–14 hari untuk memeriksa dan mengesahkan dokumen. Tapi kenyataannya? Tenggat waktu itu sering kali terlewat tanpa kabar balik. Tidak ada notifikasi, tidak ada informasi di sistem—hanya diam membisu.

Apakah selalu harus beralasan bahwa banyak sekolah belum paham menyusun anggaran dalam sistem RKAS karena belum pernah ikut pelatihan? Jika itu dianggap sebagai hambatan, maka sudah seharusnya menjadi tanggung jawab pegawai dinas pendidikan yang menangani sistem tersebut untuk mencari solusi praktis.

Salah satu langkah sederhana namun efektif adalah membuat video tutorial tentang cara mengisi RKAS yang benar—dengan bahasa yang mudah dipahami, dan contoh yang sesuai dengan kebutuhan sekolah. Video itu bisa disebarluaskan melalui platform yang mudah diakses seperti YouTube, atau dibagikan langsung melalui grup-grup resmi sekolah.

Dan jika kepala sekolah maupun operator sekolah enggan mengakses YouTube, enggan belajar secara mandiri, atau menunggu undangan pelatihan formal, maka persoalan utamanya bukan lagi soal keterbatasan, tapi kemauan untuk berbenah tidak ada.

Padahal, di era digital seperti sekarang, ketika informasi bisa diakses dalam hitungan detik, mengapa harus tetap memilih jalan yang berbelit? Bila ada yang mudah, kenapa harus dipersulit?

Lalu, di mana kepastian layanan publik yang dijanjikan digitalisasi? Bukankah sistem seharusnya hadir untuk memangkas birokrasi, bukan memoles wajah lamanya dengan kemasan baru?Dan perlu digarisbawahi: ini bukan soal malas atau enggan datang ke kantor dinas untuk berkoordinasi.

Tapi ini soal jarak, biaya, dan waktu yang terkuras. Bayangkan perjalanan dari pesisir Huamual Barat ke Piru. Ongkos ojek saja bisa mencapai Rp. 400.000-500.000 pulang-pergi. Itu belum termasuk makan dan biaya inap jika urusan yang tidak dapat selesai sehari.

Sementara dana BOS sekolah—terutama untuk satuan pendidikan yang sedikit siswanya—angaran yang sangat terbatas. Lalu siapa yang menanggung semua ini?

Sistem layanan kantor public semacam ini cacat logika. Jika urusan administrasi yang sederhana saja harus menghabiskan biaya besar dan berhari-hari, lalu di mana efisiensi yang selama ini dijadikan jargon pemerintah? Ini bukan layanan pendidikan prima—ini pemborosan yang dibungkus prosedur.

Sekolah-sekolah di wilayah pesisir barat Huamual dan pulau kecil seperti Manipa, Kelang dan Buano, terpaksa mengikuti standar pelayanan yang dirancang untuk mereka yang tinggal di sekitar kota kabupaten (piru).

Ini jelas tidak adil dan mencerminkan ketimpangan struktural yang selama ini disangkal. Apakah negara hanya hadir di wilayah yang mudah dijangkau? Apakah layanan pendidikan hanya milik satuan pendidikan yang berkedudukan di dekat kantor dinas?

Kita punya akses digital. Kita bisa berkomunikasi lewat email, WhatsApp, Zoom. Tapi mengapa semua ini tidak digunakan maksimal? Masalahnya sekarang bukan pada alat atau tidak ada jaringan internet di sekolah yang sulit mengakses internet, tapi pada pola pikir birokrasi yang belum siap berubah. Yang paling menyedihkan, sering kali ketika kepala sekolah telah menempuh perjalanan jauh—melewati medan sulit dengan biaya yang tidak sedikit—pegawai yang dituju justru tidak berada di tempat.

Urusan pun molor, biaya bertambah, dan waktu yang seharusnya dipakai untuk mendampingi peserta didik di sekolah, terbuang sia-sia. Ironisnya, di tengah kondisi seperti itu, sistem layanan yang dijalankan justru terasa tidak humanis.

Pegawai dengan jabatan teknis terkadang bertingkah seolah pejabat tinggi, minim senyum, dan jauh dari semangat melayani. Sikap responsif hanya muncul “kalau ada apanya”, bukan karena panggilan tugas yang tulus apa adanya. Ini bukan sekadar soal etika pelayanan, tapi cerminan dari budaya birokrasi yang kering empati dan miskin kepedulian.

Yang dibutuhkan sekarang bukan sekadar perbaikan, tetapi reformasi menyeluruh. Sistem harus dibangun dari perspektif pelayanan, bukan kekuasaan.

UPTD pendidikan di setiap kecamatan harus difungsikan dan diperkuat. Tempatkan pegawai teknis yang bisa menjadi operator lokal untuk Dapodik, ARKAS, dan sistem lainnya.

Validasi bisa dilakukan secara daring. Sediakan pelatihan berbasis video tutorial untuk memudahkan, mengevesiensi angaran, awasi kinerja, dan pastikan setiap pegawai bekerja dengan hati—bukan hanya sekadar menggugurkan kewajiban.

Pegawai operator di lembaga pendidikan seharusnya tidak hanya menguasai teknologi, tetapi juga bekerja dengan hati. Artinya, mereka perlu memiliki kepekaan dalam menyelesaikan masalah, bahkan tanpa harus bertatap muka secara langsung. Kecakapan teknis harus diimbangi dengan pelayanan yang responsif dan solutif.

Sudah saatnya instansi pendidikan, khususnya kantor dinas, menerapkan standar waktu layanan administratif yang jelas dan terukur. Berapa lama proses menunggu untuk setiap jenis urusan? Jika sebuah proses harus dilakukan di kantor dinas, berapa lama waktu yang dibutuhkan agar urusan selesai dengan kepastian?

Lebih penting lagi, bila pegawai yang dituju sedang tidak berada di tempat, harus ada sistem alih tugas yang memastikan siapa yang bertanggung jawab menyelesaikannya. Hal-hal teknis semacam ini sering dianggap sepele, padahal justru menjadi persoalan mendasar.

Bayangkan, ada yang datang dari tempat yang jauh, menempuh waktu dan biaya, namun urusannya tidak terselesaikan hanya karena pegawai yang dituju tidak hadir atau tidak bisa ditemui. Ini bukan sekadar keluhan, tapi fakta yang beberapa kali saya alami langsung. Kita perlu membangun sistem pelayanan pendidikan yang bukan hanya canggih, tetapi juga berkeadilan dan berbelas kasih.

Administrasi bukan alat kekuasaan. Ia seharusnya menjadi jembatan kemudahan, bukan tembok penghalang. Jangan biarkan sekolah-sekolah di pelosok menjadi korban sistem yang lamban dan tak peduli. Jangan biarkan pendidikan hanya dinikmati oleh mereka yang tinggal dekat dengan pusat kekuasaan.

Pendidikan adalah hak semua anak bangsa, tanpa kecuali. Di kota maupun di dusun, di pulau maupun di daratan. Maka tugas negara—lewat dinas pendidikan—adalah memastikan sistemnya hadir dengan adil, efektif, dan manusiawi. (—)

Dapatkan berita terupdate dari PrimaRakyat.Com di: