Oleh: Kilyon Luturmas, S.H
Pengacara Senior
Peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) setiap tanggal 2 Mei bukan sekadar seremoni tahunan. Ia seharusnya menjadi momen reflektif bagi seluruh komponen bangsa untuk meninjau ulang arah dan kualitas sistem pendidikan kita.
Dalam konteks ini, saya ingin menggarisbawahi satu isu krusial yang kerap luput dari sorotan: kekerasan terhadap anak di lingkungan pendidikan, khususnya di Kabupaten Kepulauan Tanimbar, Provinsi Maluku.
Kekerasan terhadap anak merupakan persoalan serius, mendesak, dan tidak bisa ditoleransi. Tidak hanya meninggalkan luka fisik, kekerasan ini juga berdampak jangka panjang pada kondisi psikologis dan emosional anak. Mereka yang menjadi korban acap kali tumbuh dengan trauma, kehilangan kepercayaan diri, dan kesulitan membangun relasi sosial yang sehat.
Kita sering kali bicara tentang pendidikan sebagai kunci masa depan bangsa. Namun, bagaimana mungkin anak-anak kita bisa berkembang maksimal jika lingkungan tempat mereka belajar justru menjadi sumber ancaman?

Dalam dunia pendidikan, sekolah seharusnya menjadi ruang aman, bukan arena ketakutan. Oleh karena itu, sangat penting bagi setiap institusi pendidikan, dari tingkat dasar hingga menengah, untuk memiliki kebijakan yang tegas terhadap segala bentuk kekerasan. Ini tidak hanya mencakup tindakan disipliner terhadap pelaku, tetapi juga sistem pendampingan yang memadai bagi korban.
Sebagai landasan hukum, kita memiliki Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 yang mengamandemen UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Undang-undang ini menegaskan bahwa setiap anak berhak mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan penelantaran. Sayangnya, implementasi di lapangan sering kali belum maksimal.
Di Kepulauan Tanimbar, tantangan geografis dan keterbatasan infrastruktur membuat perlindungan anak menjadi pekerjaan rumah yang tidak ringan. Namun ini tidak bisa dijadikan alasan untuk berpangku tangan. Pemerintah daerah, aparat penegak hukum, institusi pendidikan, dan lembaga perlindungan anak harus membangun sinergi yang kuat untuk menciptakan sistem pencegahan dan penanganan yang efektif.
Saya percaya, dengan kerja sama lintas sektor, kita mampu menciptakan lingkungan yang lebih aman, inklusif, dan mendukung tumbuh kembang anak. Kita harus ingat: anak-anak hari ini adalah pemimpin masa depan. Melindungi mereka berarti melindungi masa depan bangsa.
Hardiknas tahun ini hendaknya menjadi pengingat bahwa pendidikan bukan hanya soal kurikulum dan ujian nasional. Ia juga soal hak, perlindungan, dan martabat anak-anak kita. Sudah saatnya kita menempatkan keselamatan dan kesejahteraan anak sebagai prioritas utama dalam membangun sistem pendidikan yang lebih manusiawi. (—)

Tinggalkan Balasan