Oleh: Abd Aziz (Pemerhati Sosial)
Apa jadinya jika dana miliaran rupiah yang bersumber dari negara mengalir ke desa, tetapi rakyat tetap merana? Inilah ironi yang tengah berlangsung di Desa Luhu, Kecamatan Huamual Barat, Kabupaten Seram Bagian Barat, Provinsi Maluku.
Desa yang membawahi sekitar 19 dusun ini, dalam dua tahun terakhir (2023–2024), menerima lebih dari Rp10 miliar dari Dana Desa (DD) dan Alokasi Dana Desa (ADD). Angka ini menjadikannya sebagai desa dengan anggaran tertinggi di Provinsi Maluku. Namun alih-alih menjadi model pembangunan desa, Luhu justru terperosok dalam dugaan korupsi sistematis yang melukai nurani dan akal sehat masyarakat.
Langkah Himpunan Pelajar Mahasiswa Huamual Barat Maluku (HIPMAHB Maluku) yang mendorong pengusutan kasus ini patut diapresiasi. Gerakan ini bukan sekadar ekspresi mahasiswa, tetapi jeritan kolektif masyarakat yang telah terlalu lama dikecewakan oleh janji pembangunan yang tak kunjung terwujud. Transparansi nyaris tidak ada, akuntabilitas lemah, dan dugaan penyimpangan yang terus berulang telah menjadi luka terbuka dalam tata kelola pemerintahan desa.
Kritik tidak hanya datang dari masyarakat biasa. Mantan aparat desa dan tokoh masyarakat kini mulai angkat bicara. Mereka menyuarakan dugaan manipulasi laporan keuangan, program fiktif, serta aliran dana yang tak jelas arah dan tujuannya. Ini bukan rekaan—mereka berbicara berdasarkan pengalaman nyata dan bukti-bukti di lapangan.

Laporan Infomalukunews.com (28 April 2025) mengungkap dugaan penyimpangan yang mencengangkan. Anggaran penanggulangan bencana dan keadaan darurat senilai Rp643 juta pada 2023 dan Rp446 juta pada 2024, tetapi realisasinya tidak jelas. Program perpustakaan desa tahun 2023 senilai Rp47 juta tak pernah direalisasikan. Dana posyandu mencapai Rp629 juta, namun tak satu pun kegiatan dapat diverifikasi masyarakat. Ironisnya, dana PAUD lebih dari Rp240 juta dalam dua tahun justru diklaim ditanggung pribadi oleh pengelolanya. Sementara itu, sisa anggaran tahun 2022 sebesar Rp300 juta lebih digunakan untuk pelaksanaan Pilkades tanpa melalui mekanisme RAPBDes yang sah.
Jika semua ini benar, maka persoalan di Desa Luhu bukan sekadar pelanggaran administratif, tetapi merupakan indikasi kuat adanya korupsi terstruktur yang merugikan negara dan mengkhianati kepercayaan rakyat.
Yang lebih menyedihkan, kondisi ini bukan baru terjadi. Warga menilai kepemimpinan desa saat ini lebih buruk dari sebelumnya—tanpa visi, tanpa inovasi, dan jauh dari semangat reformasi birokrasi desa. Anggaran tidak diarahkan untuk kebutuhan mendesak masyarakat. Potensi desa terbengkalai. Pembangunan hanya hidup dalam dokumen, bersifat elitis dan tersentralisasi di sekitar desa induk, sementara dusun-dusun lain terabaikan. Jalan rusak, fasilitas PAUD terbengkalai, dan dapur masyarakat miskin tetap tak tersentuh berkah dana desa.
Sebagai pemerhati kebijakan publik, saya melihat ini sebagai bentuk kegagalan tata kelola yang akut. Kepala desa tampak permisif terhadap penyimpangan dan tidak menunjukkan itikad untuk memperbaiki sistem. Lembaga pengawas internal seperti BPD pun diduga abai atau bahkan terlibat secara pasif dalam membiarkan praktik ini terus berlanjut.
Padahal, jika anggaran desa dikelola dengan baik sesuai aturan dan kebutuhan riil warga Desa Luhu berpotensi menjadi lokomotif pembangunan lokal, bukan hanya di Kabupaten Seram Bagian Barat, tetapi juga di Provinsi Maluku secara keseluruhan. Sayangnya, kenyataan berbicara lain: dana rakyat justru menjadi bancakan segelintir elite desa yang melupakan mandat dari rakyat.

Karena itu, saya mendukung penuh gerakan masyarakat sipil dan mahasiswa untuk mendorong pengusutan hukum secara menyeluruh. Ini adalah momentum penting untuk membongkar dugaan korupsi dari akar rumput. Kepada Kejaksaan Tinggi Maluku dan Direktorat Kriminal Khusus Polda Maluku, rakyat menaruh harapan besar. Jangan biarkan kasus ini tenggelam seperti dana yang diduga diselewengkan. Tegakkan keadilan, pulihkan kepercayaan publik, dan kirimkan pesan tegas bahwa desa bukanlah tempat aman bagi koruptor.
Membiarkan korupsi merajalela di desa sama saja dengan mengkhianati cita-cita pembangunan dari pinggiran. (…)
Dapatkan berita terupdate dari PrimaRakyat.Com di:
Tinggalkan Balasan