
Oleh: Hendrikus Serin Ketua DPD partai Hanura kabupaten Kepulauan Tanimbar Saumlaki
Delapan puluh tahun usia Republik Indonesia, tapi wajah pembangunan di Maluku masih seperti terperangkap dalam waktu. Provinsi yang kerap disebut sebagai “miniatur NKRI” ini justru menjadi potret buram ketimpangan: kaya sumber daya, miskin perhatian. Lautnya luas, jalanan sempit. Hasil alamnya melimpah, listriknya kerap padam.
Maluku telah memberi banyak pada Indonesia. Dari rempah-rempah yang mengundang kolonialisme hingga gas alam di Blok Masela yang menjadi rebutan investor asing. Tapi apa balasannya? Anggaran yang tersendat, infrastruktur yang terbengkalai, dan janji otonomi yang menguap di terik matahari Khatulistiwa.
Masalahnya bukan sekadar geografi kepulauan yang rumit. Tapi juga pada cara Jakarta memandang Maluku: sebagai lumbung sumber daya, bukan sebagai ruang hidup manusia. Tak heran jika kapal-kapal pencuri ikan leluasa beroperasi, sementara nelayan lokal gigit jari. Proyek strategis nasional seperti Masela dikelola dari balik meja Jakarta, sementara masyarakat Tanimbar hanya jadi penonton.
Pilkada dan Janji Otonomi Baru
Momen Pilkada 2024 seharusnya menjadi kesempatan emas untuk mendorong pemekaran Provinsi Maluku Tenggara Raya (MTR). Pemekaran bukan sekadar urusan birokrasi, melainkan jalan pintas memangkas ketimpangan. Dengan ibu kota di Pulau Yamdena, Kabupaten Kepulauan Tanimbar, pemerintahan akan lebih dekat dengan rakyat.

Yamdena layak dipilih bukan hanya karena letaknya yang strategis di jantung MTR, tapi juga karena masyarakat Tanimbar punya falsafah Duan Lolat—sistem kekerabatan yang mengajarkan harmoni dalam perbedaan. Nilai ini relevan di tengah carut-marut politik identitas yang kerap menghangatkan Pilkada Maluku.
Blok Masela dan Pengawasan TNI
Keberadaan Blok Masela seharusnya menjadi motor penggerak ekonomi MTR. Tapi selama ini, pengawasannya lemah. Perlu keberanian politik untuk menempatkan TNI dalam pengamanan proyek ini, mengingat statusnya sebagai aset vital nasional. Dengan hak eksteritorial, TNI bisa mencegah pencurian sumber daya dan memastikan manfaatnya kembali ke masyarakat lokal.
Mimpi yang Tak Boleh Ditunda
Pemekaran MTR bukan sekadar wacana. Ini adalah pertaruhan harga diri orang Maluku Tenggara. Jika Papua bisa memiliki tiga provinsi, mengapa Maluku harus terus terjebak dalam ketergantungan pada Ambon? (—)
Dapatkan berita terupdate dari PrimaRakyat.Com di:
1 Komentar
Tual menjadi ibu kota propinsi tidak tepat
Mengapa ?
Hidup masyarakat tual/key arogan hidup saling membunuh antara klompok dan akan merembes ke daerah daerah lain di MTR seperti terjadi selama ini, dan akan menguras tenaga dan dana