
Oleh: Ali Hindom, S.Pd.
Mantan Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga Kabupaten Fakfak, Papua Barat
Setiap tanggal 1 Mei, bangsa Indonesia seharusnya mengenang salah satu momentum paling bersejarah dalam perjalanan panjang kedaulatan negara: pengembalian Irian Barat ke pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Bagi sebagian besar masyarakat di luar Papua, tanggal ini mungkin sekadar catatan sejarah. Namun bagi kami, rakyat Papua, khususnya generasi yang hidup dalam masa transisi 1960-an, 1 Mei bukan hanya simbol, tetapi bukti nyata dari perjuangan kolektif dan kesepakatan internasional yang meneguhkan keutuhan Indonesia.
Perjalanan menuju 1 Mei 1963 tidaklah mudah. Pasca Konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1949, Belanda masih mempertahankan klaim atas wilayah Irian Barat dan menolak menyerahkannya kepada Indonesia. Upaya diplomasi yang berlangsung selama bertahun-tahun tidak membuahkan hasil. Maka pada 19 Desember 1961, Presiden Sukarno mencanangkan Tri Komando Rakyat (Trikora) sebagai seruan nasional untuk membebaskan Irian Barat. Aksi militer pun dimulai, didampingi tekanan diplomatik dan dukungan internasional yang makin menguat terhadap posisi Indonesia.

Proses panjang ini berakhir dengan kesepakatan New York Agreement pada 15 Agustus 1962, yang membuka jalan bagi transisi kekuasaan dari Belanda ke Indonesia melalui pengawasan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Puncaknya, pada 1 Mei 1963, wilayah Irian Barat resmi diserahkan kepada Republik Indonesia, dan Sang Merah Putih mulai berkibar penuh di bumi Cenderawasih.
Namun, di tengah arus globalisasi dan dinamika politik kontemporer, saya melihat masih banyak anak bangsa—bahkan sebagian warga Papua sendiri—yang belum sepenuhnya memahami konteks dan makna sejarah 1 Mei. Lebih mengkhawatirkan lagi, narasi-narasi yang menyimpang kerap kali beredar di ruang digital tanpa landasan sejarah yang sahih. Ini menjadi tantangan besar bagi kita semua, terutama para pendidik, tokoh adat, tokoh agama, dan aparatur negara.

Sebagai seorang putra asli Fakfak yang lahir pada tahun 1963, dan tumbuh besar dalam masa-masa awal integrasi Papua, saya merasa bertanggung jawab untuk terus menyuarakan pentingnya pelurusan sejarah ini. Saya mengalami langsung bagaimana atmosfer perjuangan dan semangat nasionalisme begitu kental di tanah kami. Warga di kampung-kampung, pegunungan, dan pulau-pulau kecil di Papua Barat saat itu percaya sepenuh hati bahwa mereka adalah bagian dari Indonesia.
Oleh karena itu, saya menyerukan kepada seluruh elemen bangsa, khususnya generasi muda, untuk memahami sejarah 1 Mei sebagai bagian dari identitas nasional. Kita tidak boleh membiarkan sejarah dikaburkan atau dibelokkan oleh kepentingan sesaat. Sejarah Irian Barat adalah sejarah Indonesia. Integrasi Papua adalah bagian dari konsensus nasional dan internasional yang sah.
Kini, lebih dari enam dekade sejak peristiwa bersejarah itu, saatnya kita mempertegas kembali komitmen kebangsaan. NKRI bukanlah konstruksi kosong. Ia lahir dari perjuangan, pengorbanan, dan tekad bersama seluruh rakyat Indonesia, termasuk rakyat Papua.
Kita semua memiliki tanggung jawab untuk menjaga keutuhan bangsa ini. Meluruskan sejarah adalah bagian dari tugas kebangsaan. Dan 1 Mei bukan hanya milik Papua, tetapi milik seluruh rakyat Indonesia yang mencintai tanah air ini sepenuh jiwa. (…)
Dapatkan berita terupdate dari PrimaRakyat.Com di:
Tinggalkan Balasan