Larat — Di sebuah sudut sunyi di ujung utara Pulau Yamdena, rumah-rumah kebun berdiri tenang di tengah hamparan alam liar yang masih perawan.

Terbuat dari kayu dan bambu, beratap seng yang mulai kusam oleh waktu, rumah-rumah itu milik warga Desa Ridol, Kecamatan Tanimbar Utara, Kabupaten Kepulauan Tanimbar, Maluku.

Meski keseharian mereka berada di pusat kecamatan, para petani Ridol tetap setia berkebun di lahan tradisional yang terletak jauh dari permukiman.

Akses menuju lokasi ini bukan perkara mudah. Butuh sekitar dua jam menumpang katinting perahu bermotor kecil melintasi laut yang kadang tenang, kadang menyimpan amarah gelombang. Dulu, saat mesin belum akrab di telinga, warga menempuh perjalanan ini dengan dayung dan layar berjam-jam lamanya.

Di sanalah mereka membuka ladang, menanam umbi-umbian, sayur, hingga kelapa. Rumah kebun yang mereka bangun berfungsi ganda: tempat berteduh, beristirahat, dan menyimpan hasil panen sementara.

“Saya kagum pada semangat masyarakat yang tetap setia menjaga tradisi ini,” kata Dr. Ronald Helweldery, seorang pengunjung yang menyempatkan diri singgah ke kebun-kebun itu saat masa liburan. Baginya, lanskap rumah kebun ini bukan sekadar visual eksotis, tapi juga refleksi keteguhan identitas masyarakat adat Tanimbar.

Foto-foto yang diambil di lokasi memperlihatkan panorama yang bersahaja, anak-anak bermain di halaman tanah merah, orang dewasa membersihkan kebun atau memperbaiki dinding rumah dari bambu.

Di tengah keterbatasan, mereka hidup dalam keteraturan yang diwariskan secara turun-temurun.

Rumah kebun ini bukan hanya saksi bisu aktivitas pertanian, tapi juga simbol keterikatan spiritual warga dengan tanah leluhur.

Di balik kesederhanaannya, tersimpan kisah panjang tentang kerja keras, ketabahan, dan kekayaan budaya yang nyaris tak tersentuh modernitas.

Di ujung utara Tanimbar yang senyap itu, rumah kebun menjadi penjaga bisu dari warisan yang tak lekang oleh waktu (redaksi)

Dapatkan berita terupdate dari PrimaRakyat.Com di: