Gelombang protes yang dilayangkan oleh ribuan pengemudi ojek pangkalan dan sopir mobil rental di Kabupaten Fakfak terhadap kehadiran layanan transportasi daring Maxim menunjukkan bahwa daerah ini sedang berada di persimpangan antara tuntutan kemajuan dan perlindungan terhadap keberlanjutan ekonomi lokal.

Aksi damai yang berlangsung tertib pada Rabu, 18 Juni 2025, mencerminkan kegelisahan nyata masyarakat transportasi konvensional yang merasa ruang hidup ekonominya terancam oleh kehadiran sistem transportasi digital.

Teriakan penolakan mereka tidak boleh disederhanakan sebagai resistensi terhadap teknologi, melainkan seruan untuk keadilan ekonomi yang berpihak pada akar rumput.

Dalam konteks ini, pernyataan anggota DPRK Fakfak, Tomy Hamja Rumagesan, layak dicermati. Ia menggarisbawahi pentingnya dialog terbuka antara seluruh pemangku kepentingan baik dari pihak ojek konvensional, Maxim, Dinas Perhubungan, maupun instansi penegak hukum.

Ajakan untuk menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) menjadi sinyal bahwa DPRK tidak ingin mengambil keputusan gegabah.

Namun, bukan berarti pengambilan keputusan dapat terus ditunda. Pemerintah daerah dan DPRK tidak cukup hanya menjadi penengah.

Mereka harus hadir sebagai regulator aktif yang menyusun kebijakan berbasis keberpihakan terhadap masyarakat lokal tanpa mengabaikan peluang yang ditawarkan teknologi.

Sorotan soal pentingnya administrasi kependudukan, seperti yang disampaikan Tomy, juga menjadi titik masuk untuk memperbaiki tata kelola sektor transportasi informal di Fakfak. Pengemudi ojek wajib memiliki KTP Fakfak sebagai bentuk legalitas dan bagian dari sistem pendataan daerah.

Dengan tertib administrasi, mereka tak hanya bisa menuntut perlindungan, tapi juga mendapat akses terhadap bantuan pemerintah dan peluang ekonomi lainnya.

Di sisi lain, hak jawab yang disampaikan manajemen Maxim menunjukkan bahwa perusahaan ini beroperasi secara legal dan telah mengantongi sertifikat resmi dari Kementerian Kominfo.

Penyesuaian tarif berdasarkan regulasi nasional dan komitmen untuk berdiskusi patut diapresiasi. Namun, legalitas nasional saja tidak cukup jika tidak disesuaikan dengan kondisi sosial-geografis setempat.

Fakfak memiliki karakteristik geografis unik yang membuat skema tarif nasional bisa menimbulkan ketimpangan di lapangan. Inilah yang dikeluhkan para sopir lokal: tarif rendah justru membuat pengemudi online bisa masuk dengan mudah, sementara pengemudi lokal kehilangan pangsa pasar tanpa daya saing.

Kini, tantangan terbesar adalah merumuskan jalan tengah. Bukan menolak Maxim sepenuhnya, namun juga bukan membiarkan pasar berjalan liar tanpa pengaturan.

Pemerintah daerah mesti hadir dengan regulasi lokal berbasis otonomi yang mengatur zonasi layanan, sistem kuota, integrasi aplikasi lokal, serta jaminan tarif yang adil.

Digitalisasi transportasi tidak bisa dihindari. Tapi keterbukaan terhadap inovasi harus diimbangi dengan keberpihakan terhadap masyarakat lokal, bukan justru meminggirkan mereka.

DPRK dan Pemerintah Kabupaten Fakfak harus menjadi pelindung kepentingan rakyat, sekaligus fasilitator perubahan. Hanya dengan kebijakan inklusif, adil, dan partisipatif, konflik seperti ini dapat diurai tanpa harus memilih antara “yang lama” dan “yang baru”.

(Redaksi)

Dapatkan berita terupdate dari PrimaRakyat.Com di: