Program Tol Laut yang dicanangkan pemerintah sejatinya adalah wujud nyata kehadiran negara dalam menjawab tantangan distribusi logistik nasional, terutama bagi daerah-daerah tertinggal, terluar, dan terpencil (3T).

Dengan memberikan subsidi biaya pelayaran, program ini bertujuan menekan biaya logistik, menurunkan disparitas harga barang antar wilayah, serta memperkuat konektivitas nusantara dari Sabang hingga Merauke.

Namun sayangnya, di lapangan, semangat mulia tersebut terancam dinodai oleh praktik-praktik yang tidak sesuai dengan tujuan awal program.

Di Kabupaten Fakfak, muncul dugaan bahwa kapal tol laut digunakan untuk kepentingan komersial. Misalnya, pengangkutan material seperti semen dan baja ringan, yang seharusnya tidak termasuk dalam skema subsidi. Dugaan ini memperlihatkan adanya penyimpangan yang bisa melemahkan esensi dari program tol laut itu sendiri.

Lebih mengkhawatirkan lagi, terdapat indikasi bahwa pihak-pihak tertentu, dengan kapasitas pemesanan kontainer yang besar, mampu mendominasi rute pelayaran.

Jika benar terjadi, ini bisa menjurus pada praktik monopoli yang merugikan para pengusaha kecil dan pedagang lokal yang seharusnya menjadi penerima manfaat utama dari subsidi ini.

Kondisi semacam ini tentu tidak bisa dibiarkan. Kementerian Perhubungan perlu memperketat pengawasan dan melakukan evaluasi secara berkala terhadap implementasi program tol laut.

Transparansi dalam distribusi kontainer, keterlibatan lebih besar pelaku usaha lokal, dan sanksi tegas terhadap pelanggaran harus menjadi prioritas.

Tol Laut bukanlah ladang bisnis semata. Ini adalah program strategis nasional yang menyangkut hajat hidup masyarakat luas. Bila disalahgunakan, maka bukan hanya subsidi yang terbuang, tetapi juga kepercayaan publik terhadap komitmen negara dalam mewujudkan keadilan sosial.

Sudah saatnya pemerintah menegaskan kembali bahwa Tol Laut adalah hak rakyat, bukan milik segelintir pelaku usaha besar. (redaksi)

Dapatkan berita terupdate dari PrimaRakyat.Com di: