Jakarta – Direktur Jaringan GUSDURian, Alissa Wahid dalam keterangan Press release, Kamis (22/08/2024) menyampaikan 5 tuntutan Jaringan  Gusdurian yang mengecam Korupsi Konstitusi Oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia. Pertama, mengecam upaya Dewan Perwakilan Rakyat yang melakukan pembangkangan konstitusi dan membahayakan kedaulatan hukum. Kedua, meminta pemerintah untuk menghentikan pembahasan RUU Pilkada.

Ketiga, menyerukan para elite politik, para ketua umum partai dan para pimpinannya, untuk menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan kelompoknya.

Keempat, menyerukan kepada seluruh tokoh agama, jejaring masyarakat sipil, elemen mahasiswa, akademisi, buruh, dan kelompok masyarakat lainnya, untuk melakukan konsolidasi nasional terkait upaya penyelamatan demokrasi dan konstitusi.

Kelima, meminta kepada seluruh penggerak dan komunitas GUSDURian yang ada di lebih dari 100 kota untuk melakukan konsolidasi dan menggalang dukungan masyarakat luas sebagai upaya menjaga tegaknya konstitusi.

Alissa menjelaskan, Keputsusan MK (Mahkamah Konstitusi) pada Rabu, 20 Agustus 2024, menyatakan partai atau gabungan partai politik peserta Pemilu bisa mengajukan calon kepala daerah meski tidak memiliki kursi DPRD, tidak hanya itu, MK juga memutuskan bahwa usia cagub dan cawagub harus berumur 30 tahun saat penetapan calon.

“Hal ini tercantum dalam putusan MK yang mengabulkan sebagian gugatan Partai Gelora dan Partai Buruh terhadap Undang-Undang Pilkada,” Jelas Alissa dalam keterangan Press Release.

Alissa juga menyebutkan, setelah putusan tersebut, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR-RI) mengadakan rapat mengenai revisi UU Pilkada yang dilakukan secara mendadak, sehari setelah MK membacakan keputusannya.

“Badan Legislatif (Baleg) melakukan manuver dengan mengabaikan putusan MK dan justru merujuk pada putusan Mahkamah Agung (MA) yang memiliki perbedaan substantif dengan putusan MK,” jelasnya.

Lebih jauh  dalam keterangannya, Alissa menegaskan ada dua poin yang diabaikan oleh DPR-RI dari Putusan MK.

Ia menjelaskan bahwa dalam revisi UU Pilkada, DPR membuat syarat pencalonan kepala daerah bagi partai politik yang memiliki kursi di tingkat DPRD minimal harus memiliki perolehan 20% kursi atau 25% suara di Pileg. Sementara terkait usia calon, DPR menetapkan usia 30 tahun adalah pada saat pelantikan. Syarat pengajuan calon berpotensi membuat Pilkada 2024 mengalami berbagai masalah, mulai banyaknya kotak kosong (di lebih dari 150 daerah), persekongkolan politik, dan lain sebagainya. Pilkada yang semestinya digunakan untuk memilih pemimpin rakyat hanya menjadi arena permainan elite politik yang mengabaikan kepentingan rakyat.

“Sementara syarat usia pencalonan diduga merupakan upaya untuk meloloskan Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang juga anak bungsu Presiden Joko Widodo Kaesang Pengarep yang saat ini masih berusia 29 tahun. Jika keputusan MK yang dijalankan, maka Kaesang tidak bisa mendaftar karena pada saat pendaftaran usianya masih 29 tahun. Sementara revisi UU Pilkada yang merujuk keputusan MA memungkinkan Kaesang mendaftar karena jika terpilih pada Pilkada mendatang, ia akan ditetapkan pada usia 30 tahun,” ungkapnya.

“Hal ini merupakan bentuk korupsi pada tatanan konstitusi yang berpotensi menciptakan krisis hukum di masa depan. Dalam sistem konstitusi negara Indonesia, keputusan MK adalah final dan mengikat sesuai bunyi pasal 24C UUD 1945 yang menyatakan bahwa kewenangan MK di antaranya adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945,” sambung Alissa.

“Semua elemen wajib taat menjalankan apa yang diputuskan oleh MK tanpa bisa mempuh upaya lain. Tidak menaati putusan MK adalah bentuk pembangkangan dan pengkhianatan pada konstitusi,” pungkas Direktur Jaringan GUSDURian yang juga seorang Psikolog itu. (Press Relesae/jm/pr)