Ambon – Wakil Ketua Komisi II DPRD Maluku Tengah, Hidayat Samalehu S.Pi, menyatakan dukungan penuh terhadap langkah Kejaksaan Tinggi (Kejati) Maluku dalam mengusut dugaan tindak pidana korupsi terkait perizinan tambang pasir garnet yang dilakukan oleh PT Waragonda Mineral Pratama (WMP) di Negeri Haya, Kecamatan Tehoru. Hal ini disampaikan Hidayat dalam keterangannya kepada media pada Jumat, 14 Maret 2025.

Sebagai wakil rakyat yang terpilih dari daerah pemilihan III (Kecamatan Tehoru, Telutih, dan Banda), Hidayat menegaskan bahwa masyarakat adat telah lama mencium adanya ketidakberesan dalam proses perizinan tambang pasir garnet tersebut.

Ia juga menyoroti ketidakjelasan dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) serta Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL) yang dikeluarkan oleh Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Maluku.

“Kami sudah curiga sejak awal. Oleh karena itu, kami meminta Kejati untuk memeriksa Kepala Dinas ESDM dan Kepala Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Maluku. Ada dugaan bahwa izin yang dikeluarkan tidak sesuai dengan prosedur,” tegas Hidayat.

Hidayat, yang juga merupakan Ketua Fraksi Demokrat DPRD Maluku Tengah, menegaskan bahwa dokumen AMDAL dan UKL/UPL seharusnya diserahkan kepada pemerintah Negeri Haya. Namun, hingga saat ini, tidak ada satupun dokumen tersebut yang diberikan. Selain itu, dokumen Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) PT WMP juga tidak diserahkan kepada pemerintah setempat.

“Saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi II dengan PT Waragonda Mineral Pratama, kami meminta semua dokumen terkait perusahaan. Namun, dokumen yang diserahkan tidak lengkap, terutama dokumen UKL/UPL dan RKA. Ini menimbulkan pertanyaan besar,” ujar Hidayat dengan nada kesal.

Ia mempertanyakan alasan di balik kerahasiaan dokumen-dokumen tersebut. Sebagai anak adat Negeri Haya dan wakil rakyat, Hidayat menegaskan bahwa dugaan korupsi ini harus diungkap oleh pihak Kejaksaan.

“Kami mendukung investasi di daerah, tetapi investasi tersebut tidak boleh dilakukan dengan cara-cara yang menipu dan merusak tatanan adat istiadat masyarakat Maluku, khususnya masyarakat adat Negeri Haya Lusitowa Amalatu,” tegasnya.

Hidayat juga meminta Kejati Maluku untuk mengusut tuntas pengiriman 200 hingga ribuan ton pasir garnet oleh PT WMP dari Negeri Haya ke luar Maluku tanpa izin eksploitasi yang sah. Menurutnya, izin eksploitasi baru dikeluarkan pada Maret 2023, sementara pengapalan dan pemuatan pasir garnet telah dilakukan sejak tahun 2022.

“Ini adalah pelanggaran hukum yang harus diusut tuntas. Hal ini harus menjadi pembelajaran bagi korporasi atau perusahaan yang ingin berinvestasi di Maluku. Kita memiliki sumber daya alam yang melimpah, seharusnya rakyat bisa sejahtera dari aset tersebut. Namun, yang terjadi justru korporasi hanya mengejar keuntungan tanpa mempedulikan kerugian yang dialami masyarakat adat,” imbuhnya.

Hidayat juga menyoroti dampak lingkungan dan sosial yang ditimbulkan oleh aktivitas tambang tersebut. Menurutnya, perusahaan tidak memperhatikan dampak negatif yang dialami oleh masyarakat setempat, terutama pemilik lahan yang tetap miskin akibat praktik-praktik tidak sehat yang dilakukan oleh perusahaan.

Ia meminta Gubernur dan Wakil Gubernur Maluku, Hendrik Lewerissa dan Abdullah Vanath, untuk mengevaluasi kinerja Kepala Dinas ESDM dan Kepala Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Maluku.

“Kami meminta Bapak Gubernur untuk menggunakan otoritasnya mencabut izin PT Waragonda Mineral Pratama di Negeri Haya. Aktivitas perusahaan ini telah meresahkan dan menyusahkan masyarakat,” ungkap Hidayat.

Dugaan korupsi dan pelanggaran hukum yang melibatkan PT Waragonda Mineral Pratama ini menjadi sorotan serius bagi DPRD Maluku Tengah dan masyarakat adat Negeri Haya.

Mereka berharap proses hukum yang transparan dan adil dapat mengungkap kebenaran serta memberikan keadilan bagi masyarakat yang dirugikan. (at/pr)

Dapatkan berita terupdate dari PrimaRakyat.Com di: