Kaimana – Kejaksaan Negeri (Kejari) Kaimana kembali menunjukkan komitmennya dalam mengutamakan keadilan yang berlandaskan perdamaian, Rabu (12/3/2025).

Kejari Kaimana resmi menghentikan penuntutan terhadap tiga perkara tindak pidana melalui pendekatan restorative justice.

Dua perkara di antaranya adalah tindak pidana penganiayaan, sementara satu perkara lainnya terkait kekerasan terhadap anak. Para tersangka dalam kasus ini adalah Melani Rindu Bopeng, Minanto Aurmatin, dan Virginia Wuarbanaran.

Keputusan ini diambil setelah ekspose perkara dilakukan secara virtual, dipimpin langsung oleh Kepala Kejaksaan Negeri Kaimana, Onneri Khairoza, S.H., M.H., bersama Kasi Pidum dan tim jaksa yang menangani kasus tersebut.

Proses ini turut dipaparkan kepada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum untuk memastikan bahwa penghentian penuntutan sesuai dengan prinsip hukum dan keadilan yang berlaku.

Dalam pemaparannya, Khairoza menjelaskan bahwa proses penyelesaian konflik telah dijalankan secara damai dan melibatkan berbagai elemen masyarakat, termasuk tokoh adat, tokoh agama, dan pemuka masyarakat setempat. Langkah ini menjadi cerminan upaya sistematis Kejari Kaimana dalam mengedepankan hukum yang lebih manusiawi dan berorientasi pada pemulihan hubungan sosial.

“Melalui restorative justice, kita berupaya menyelesaikan masalah secara kekeluargaan, dengan melibatkan semua pihak terkait. Kami berharap ini dapat menjadi contoh dalam penyelesaian perkara yang lebih manusiawi dan tidak hanya mengedepankan aspek hukum semata,” ungkap Khairoza.

Ketiga perkara yang dihentikan penuntutannya meliputi, Penganiayaan oleh Melani Rindu Bopeng, yang melanggar Pasal 351 ayat (1) KUHP, Penganiayaan oleh Minanto Aurmatin, juga melanggar Pasal 351 ayat (1) KUHP dan Kekerasan terhadap anak oleh Virginia Wuarbanaran, yang melanggar Pasal 80 ayat (1) jo. Pasal 76C UU Perlindungan Anak.

Perkara ini bermula dari konflik personal yang dipicu percakapan sengit melalui aplikasi pesan pada 22 Februari 2024, yang akhirnya memicu pertikaian fisik. Namun, berkat pendekatan restoratif, para pihak sepakat untuk menyelesaikan perkara di luar pengadilan demi menjaga hubungan sosial dan menghindari dampak hukum yang lebih panjang.

Kesepakatan damai tersebut dituangkan dalam Surat Perdamaian yang ditandatangani pada 14 Februari 2025. Proses ini disaksikan oleh jaksa, penyidik, keluarga kedua belah pihak, serta tokoh masyarakat dan adat.

Keberhasilan penyelesaian ini tidak lepas dari peran aktif Kejari Kaimana yang bertindak sebagai fasilitator perdamaian. Kepala Kejaksaan mengarahkan jaksa untuk membantu proses mediasi hingga tercapai titik temu yang adil bagi kedua belah pihak. Hal ini sejalan dengan semangat restorative justice yang mengutamakan pemulihan keadaan daripada semata-mata penghukuman.

Penghentian penuntutan ini juga mempertimbangkan bahwa para tersangka adalah pelaku tindak pidana pertama kali, dan adanya itikad baik untuk memperbaiki hubungan melalui perdamaian. Dengan demikian, penghentian penuntutan ini tidak hanya memberikan kesempatan bagi pelaku untuk memperbaiki kesalahan, tetapi juga menjadi solusi yang lebih berkelanjutan bagi masyarakat.

Dengan keputusan ini, Kejari Kaimana berhasil memperlihatkan bahwa penegakan hukum dapat dijalankan secara lebih beradab dan berkeadilan. Restorative justice menjadi jembatan bagi masyarakat untuk menghindari konflik berkepanjangan dan membangun kembali harmoni sosial.

Keberhasilan ini diharapkan menjadi inspirasi bagi wilayah lain untuk mengedepankan pendekatan serupa dalam penyelesaian perkara pidana yang bersifat ringan dan masih memungkinkan proses rekonsiliasi.

Kejari Kaimana terus berkomitmen untuk menjadi pengayom masyarakat yang tidak hanya berpegang teguh pada aturan hukum, tetapi juga mampu merangkul nilai-nilai kemanusiaan demi terciptanya keadilan yang lebih holistik dan bermartabat. (tm/pr)

Dapatkan berita terupdate dari PrimaRakyat.Com di: