Saumlaki – Aktivitas ilegal terkait penangkapan teripang di wilayah perbatasan Indonesia-Australia kembali mencuat ke permukaan. Meski telah terjalin kerja sama bilateral antara kedua negara dalam penanganan illegal fishing, kejanggalan justru terlihat di lapangan.
Dalam beberapa tahun terakhir, tidak terlihat adanya penindakan tegas terhadap aktivitas pencurian teripang, khususnya di perairan yang berdekatan dengan Kepulauan Tanimbar.
Kerja sama antara Indonesia dan Australia sejatinya mencakup pengawasan dan penegakan hukum bersama di wilayah laut perbatasan. Patroli gabungan antara PSDKP dan Polairud serta penyidikan bersama telah dilakukan dalam rangka mencegah aktivitas penangkapan ikan ilegal, termasuk teripang. Aturan hukum yang mengikat di antaranya adalah UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan dan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Otonomi Daerah.
Namun, fakta di lapangan menunjukkan sebaliknya. Sudah lebih dari tiga tahun belakangan ini, aktivitas nelayan yang menangkap teripang secara ilegal di perbatasan Australia-Indonesia terkesan dibiarkan begitu saja. Gugus tugas Pulau Sepuluh Saumlaki, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Polairud, hingga Lantamal Saumlaki diduga memilih bungkam.
Kecurigaan kian mencuat setelah dalam beberapa pekan terakhir terjadi aktivitas pembongkaran teripang dalam jumlah besar di Pelabuhan Saumlaki, tepatnya di kawasan pasar baru Sifnana Omele. Ribuan ekor teripang diduga berasal dari hasil tangkapan ilegal di perairan perbatasan.

Pihak perwakilan Kementerian Kelautan bersama kepolisian Polairud Polres Kepulauan Tanimbar telah melakukan penelusuran. Wartawan lokal turut dilibatkan dalam upaya investigasi. Hasil awal mengarah pada keterlibatan seorang oknum pengusaha yang disebut-sebut menampung hasil penangkapan teripang dari wilayah perbatasan Australia.
Hingga kini, barang bukti teripang masih diamankan di kapal nelayan yang baru tiba dari perbatasan. Namun, tindakan hukum tegas terhadap pelaku maupun pihak yang terlibat belum terlihat. Instansi-instansi terkait seperti Gugus Pulau Sepuluh Saumlaki, Lantamal, serta Dinas Perikanan Kabupaten Kepulauan Tanimbar pun belum memberikan keterangan resmi.
Keterbukaan dan penegakan hukum yang adil menjadi sorotan publik. Pasalnya, jika dibiarkan terus berlarut, hal ini tak hanya merugikan negara secara ekonomi, tetapi juga mencoreng komitmen Indonesia dalam menjaga kedaulatan maritimnya di mata dunia. (bn/pr)
Dapatkan berita terupdate dari PrimaRakyat.Com di:
Tinggalkan Balasan