Persoalan tenaga honorer Non-Database di Pemerintah Daerah (Pemda) Fakfak, Papua Barat kembali mencuat ke permukaan, menimbulkan keresahan di kalangan pekerja honorer dan memantik perhatian publik.

Isu ini tidak hanya menyangkut nasib ratusan tenaga kerja yang menggantungkan hidupnya pada penghasilan dari Pemda, tetapi juga menyoroti kompleksitas sistem pengelolaan tenaga honorer di tingkat daerah.

Pernyataan Pelaksana Harian Sekretaris Daerah (Plh. Sekda) Kabupaten Fakfak, Tajudin Lajahalia, bahwa masalah ini tidak terkait dengan instruksi efisiensi anggaran Presiden Prabowo Subianto, justru mengundang pertanyaan lebih lanjut tentang akar persoalan yang sebenarnya.

Pertama, perlu dipahami bahwa tenaga honorer Non-Database adalah mereka yang tidak terdaftar dalam sistem Badan Kepegawaian Negara (BKN). Status ini membuat posisi mereka rentan secara hukum dan administratif, terutama dalam hal pembayaran gaji dan jaminan hak-hak lainnya.

Meskipun Pemda Fakfak menyatakan komitmennya untuk membayarkan hak-hak tenaga honorer selama regulasi mengizinkan, kendala utama justru terletak pada belum adanya Surat Keputusan (SK) yang menjadi dasar hukum pembayaran. Hal ini menunjukkan adanya celah birokrasi yang perlu segera ditangani.

Kedua, pernyataan Tajudin bahwa Pemda Fakfak telah mengutus tim ke pemerintah pusat untuk membahas nasib tenaga honorer Non-Database patut diapresiasi. Namun, langkah ini juga menimbulkan pertanyaan: mengapa persoalan ini baru disikapi setelah munculnya aksi protes dari para tenaga honorer? Seharusnya, Pemda lebih proaktif dalam mengantisipasi masalah ini, terutama mengingat status tenaga honorer Non-Database yang sudah lama menjadi polemik di berbagai daerah. Koordinasi dengan pemerintah pusat seharusnya dilakukan jauh sebelum masalah ini memanas, agar tidak menimbulkan ketidakpastian bagi para pekerja.

Ketiga, aksi protes yang dilakukan oleh Aliansi Honorer Non-Database Pemda Fakfak menunjukkan tingkat frustrasi yang tinggi di kalangan tenaga honorer. Mereka tidak hanya menuntut kejelasan status, tetapi juga hak-hak dasar sebagai pekerja, termasuk pembayaran gaji yang selama ini belum jelas. Aksi ini seharusnya menjadi alarm bagi Pemda untuk segera mengambil langkah konkret, bukan hanya menunggu keputusan dari pemerintah pusat. Meskipun Pemda Fakfak mengklaim telah berupaya mengikuti prosedur yang ada, namun dalam situasi seperti ini, diperlukan langkah-langkah darurat untuk meredakan ketegangan dan memberikan kepastian kepada para tenaga honorer.

Keempat, persoalan tenaga honorer Non-Database sejatinya bukan hanya masalah administratif, tetapi juga masalah kemanusiaan. Banyak dari tenaga honorer ini telah bekerja bertahun-tahun dengan dedikasi tinggi, namun nasib mereka masih terombang-ambing akibat ketidakjelasan regulasi. Pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah, harus memprioritaskan penyelesaian masalah ini dengan pendekatan yang lebih manusiawi, bukan hanya mengandalkan prosedur birokrasi yang berbelit-belit.

Secara keseluruhan, persoalan tenaga honorer Non-Database di Fakfak adalah cerminan dari sistem pengelolaan tenaga kerja honorer yang belum optimal di Indonesia. Pemerintah daerah dan pusat perlu bersinergi untuk menciptakan solusi yang adil dan berkelanjutan, tidak hanya untuk tenaga honorer di Fakfak, tetapi juga di seluruh Indonesia. Langkah-langkah proaktif, transparansi, dan komitmen untuk memenuhi hak-hak tenaga honorer harus menjadi prioritas. Jika tidak, persoalan ini akan terus berulang dan menimbulkan ketidakpuasan di kalangan masyarakat, terutama para tenaga honorer yang telah berkontribusi besar bagi pembangunan daerah. (redaksi)

Dapatkan berita terupdate dari PrimaRakyat.Com di: