Fakfak – Hari raya Pentakosta dirayakan Umat Katolik dengan sangat meriah penuh sukacita di Gereja Katolik Santo Yosep Fakfak, Provinsi Papua Barat, Minggu 19 Mei 2024 pagi.
Perayaan Misa Ekaristi ini dipandu Etnis Maybrat dan di pimpim Pastor Yulianus Korain, Pr yang merupakan salah satu putra asli Maybrat, Papua Barat Daya bersama Pastor Paroki Santo Yosep Fakfak, Pastor Alexius Fabianus, Pr.
Usai Misa, dilanjutkan dengan sambutan-sambutan, Pastor Yulianus Korain mengawali sambutannya, memperkenalkan diri bertugas atau pengajar di Seminari Petrus Van Diepen Kabupaten Sorong, Papua Barat Daya.
Pastor Yulianus Korain yang disapa Yulko ini mengakui gereja Santo Yosep Fakfak merupakan gereja Katolik terbesar di wilayah Keuskupan Manokwari-Sorong, sembari semua umat yang mengikuti ibadah tepuk tangan meriah.
Pastor Yulko juga mengaku dirinya angkatan kedua di Seminari Petrus Van Diepen, teman-teman seangkatan dari Fakfak, yaitu Yosep Letsoin Paulus Aryo Elwarin dan Donatus Kondawe.
“Jadi itulah teman-teman saya yang sama-sama mereka dari sini (Fakfak), saya dari Maybrat sama-sama ketemu di Sorong dan saya melihat walaupun saya tidak pernah melakukan pelayanan di tempat ini, tetapi ketika saya belajar-belajar, ternyata di Fakfak ini adalah daerah Misi Katolik itu di sini, kalau di Manokwari Kota Injil, tetapi di Fakfak ini kota peradaban Katolik di sini,” akui Pastor Yulko.
Pastor Yulko meminta tempat-tempat wisata religius seperti Pulau Bonyum bisa di kelola baik, di tata baik, ada tempat doanya, tempat penginapannya.
“Selanjutnya tempat wisata religius ini dipromosikan supaya orang bisa datang dan siarah di Pulau Bonyum sebagai tempat misi Katolik,” pintanya.
Selanjutnya, Pastor Yulko mengakui Seminari Petrus Van Diepen pertama dibuka banyak generasi muda Katolik datang sekolah, tetapi akhir-akhir ini sudah tidak ada dari Fakfak.
“Kalau memang di sini daerah misi Katolik, maka misi itu harus dijaga ada kiriman adik-adik itu harus sekolah di Seminari supaya dari itu mereka kembali kembangkan daerah misi Katolik ini, jangan hanya namanya Misi Katolik tapi orangnya tidak ada,” pungkasnya.
Pater Yulko mengisahkan, Fakfak tempo dulu ada Asrama dan di Sorong juga ada asrama yang melahirkan banyak pejabat jebolan asrama.
“Kalau sekarang kita punya anak-anak, orang tuanya tidak mau dikasih titip di asrama, kita membayangkan saja persaingan dunia, anak-anak generasi ke depan seperti apa, maka itu waktunya belum terlambat,” katanya.
Pastor Yuko berharap siswa-siswi SMP, SMA mau tidak mau, suka tidak suka kirim tinggal di asrama, sehingga hidup ke depan itu lebih baik, bisa bersaing dengan pengaruh-pengaruh dunia-dunia luar.
“Terutama pemekaran-pemekaran daerah di tanah Papua banyak kemudahan-kemudahan, kalau kita tidak mau menyiasati itu dari sekarang, kita tetap hidup seperti ini dan kita tetap menjadi penonton dan orang lain menguasai kita,” jelasnya.
Maka itu, sambung Pastor Yulko, generasi muda yang lahir besar di Fakfak mestinya bergandengan tangan untuk melihat peluang-pelunag itu, tantangan dunia pendidikan kedepan.
“Anak-anak, ade-ade yang punya niat mau sekolah, kirim sekolah tinggal di asrama, walaupun asrama itu mahal atau penuh dengan aturan ketat, tetapi tidak usah pikir itu, yang penting bahwa anak itu, ke depan itu baik,” kata Pater Yulko.
“Macam saya begini, saya bisa seperti ini karena saya pernah tinggal di asrama, maka adik-adik sekalian jangan melihat asrama itu sebagai beban,” tambahnya.
Walaupun, sambung dia, awal-awal di Asrama berat tetapi lama-lama terbiasa. Memang budaya Papua pada umumnya tidak mengenal budaya yang namanya hening, itu tidak ada, selalu ada cerita, selalu saja ada ribut.
“Ketika kita masuk asrama lalu suruh kita harus diam, memang berat, harus ribut, masuk kumpul di teman punya kamar cerita, masuk disini harus cerita bahkan dalam kelas pun kita harus cerita, itu bukan sesuatu dibuat-buat tetapi budaya kita seperti itu,” akuinya.
Supaya adik-adik tidak bosan di Fakfak, coba belajar budaya baru di Sorong dengan orang-orang baru, dengan situasi baru dan dengan pengalaman baru di sana, itu yang bisa membuat kita berubah.
“Seperti dulu saya punya orang (masyarakat) dari Maybrat, banyak datang belajar di sini SMP dan SMA Santo Don Bosco Fakfak dan mereka sekarang kerja di sana dengan baik, jadi itu pengalaman-pengalaman semacam itu yang kita harus belajar dan kita harus kirim kita punya anak-anak untuk belajar di tempat yang lain,” pintanya.
Pastor Yulko tidak menghendadki anak-anak Sekolah di Fakfak, masa depannya tidak berubah, kadang-kadang orang tua senang anak-anak tenang di rumah memang hendpone, tetapi tidak mengetahui bahwa dengan memegang handpone itu relasinya dengan orang di luar, bermain game.
“Maka itu bapak, ibu sekalian yang punya anak-anak arahkan mereka sekolah di Seminari. Seminari masih terbuka untuk terima anak-anak, baik laki-laki maupun perempuan yang masih mau belajar, yang masih memperbaiki hidupnya, perbaiki tanah ini untuk ke depan, mari kita sama-sama belajar, saling membantu, saling menolong untuk gereja kita terutama untuk misi Katolik di tanah Papua,” tandasnya. (pr)











Tinggalkan Balasan