Fakfak – Kepala Pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) Sekolah Tinggi Teologi (STT) GPI Papua, Pendeta Dr. Ronald Helweldery, M.Si, menyampaikan, program penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa Iha untuk periode 2025-2026 telah resmi menjadi program mandiri.

Program ini dipimpin oleh GPI Papua dengan pendampingan dari Yayasan Misi Penginjilan Pemuridan Papua (YMP3) dan didukung oleh donatur dari Seed Company, Amerika Serikat.

Hal ini disampaikan Pendeta Dr. Ronald Helwelderi usai pembukaan Lokakarya II Penerjemahan Alkitab Bahasa Iha yang berlangsung di Jemaat GPI Papua Imanuel Werba, Fakfak Barat, Senin (10/3/2025).

Lokakarya ini merupakan bagian dari rangkaian kegiatan untuk menerjemahkan Injil Lukas pasal 7 hingga pasal 11 ke dalam bahasa Iha. Proses penerjemahan ini dilakukan melalui 10 langkah metodologis, dan saat ini tim telah mencapai langkah kelima, yaitu pemeriksaan internal.

Pdt Helweldery menjelaskan, proses penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa Iha tidak dilakukan secara instan.

“Kami memulai dari dasar, yaitu mengenal kitabnya, memahami konteksnya, dan menafsirkan bagian-bagian penting sebelum masuk ke tahap penerjemahan,” ujarnya.

Sebelumnya, tim telah menyelesaikan penerjemahan Injil Lukas pasal 3 hingga pasal 6 pada Juli 2024. Hasil terjemahan tersebut kini sedang diuji oleh konsultan sebelum melanjutkan ke pasal 7 hingga pasal 11.

Proyek penerjemahan ini difokuskan pada Injil Lukas dan direncanakan berlangsung selama tiga tahun. Program ini sebenarnya telah dimulai sejak tahun 2023 dengan penelitian kebahasaan yang dilakukan pada Maret-April 2023 di Teluk dan Sum.

Penelitian tersebut bertujuan untuk menilai kelayakan bahasa Iha sebagai bahasa yang dapat diterjemahkan ke dalam Alkitab. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bahasa Iha memiliki tingkat ketahanan bahasa sebesar 6,5 pada skala polikot internasional, yang berarti masih layak untuk diterjemahkan meskipun terancam punah.

Bahasa Iha saat ini menghadapi ancaman kepunahan karena generasi muda semakin jarang menggunakannya. “Anak-anak muda sudah sedikit yang menggunakan bahasa Iha. Jika tidak ada upaya pelestarian, bahasa ini akan punah,” kata Pendeta Helweldery.

Oleh karena itu, program penerjemahan Alkitab ini tidak hanya bertujuan untuk memperkuat iman Kristen, tetapi juga untuk menghidupkan kembali bahasa Iha sebagai bagian dari warisan budaya masyarakat lokal.

Program ini melibatkan gereja, umat, dan masyarakat lokal sebagai basis utama. Tim penerjemah terdiri dari dua fasilitator, yaitu Pdt Dr. Ronald Helweldery dan Pendeta Ria Aploni, yang bertugas memberikan pendampingan teknis, prinsip-prinsip penafsiran, dan teologi.

Sementara itu, penerjemah utama adalah masyarakat lokal yang merupakan penutur asli bahasa Iha. Tiga orang yang aktif terlibat dalam proyek ini adalah Penatua John Elvin Hindom dari Tetar, Penatua Manasye Tuturop dari Kampung Sum, dan Jordan Komber dari Kampung Mitimber.

Ketiganya telah terlibat sejak tahun 2023 dan telah teruji kemampuannya dalam menggunakan aplikasi penerjemahan dan perangkat teknologi seperti laptop.

Proses penerjemahan ini bersifat terbuka dan melibatkan partisipasi masyarakat lokal. Setelah tahap penerjemahan selesai, hasilnya akan diuji oleh Pembantu Uji Coba (PUC) dari berbagai kelompok masyarakat, termasuk pemuda.

Tujuannya adalah memastikan bahwa terjemahan tersebut tepat, jelas, dan dapat diterima oleh masyarakat. “Jika generasi muda meminta perubahan pada kata-kata yang sudah tua, itu akan menjadi bagian dari proses,” jelas Pdt Helweldery.

Program ini telah melalui berbagai tahapan sejak Maret 2023, mulai dari penelitian bahasa, penyusunan proposal, hingga pelatihan pertama pada Februari 2024 di Waisai Kabupaten Raja Ampat Papua Barat Daya dan Lokakarya pertama di Sorong Dom, Papua Barat Daya pada Juli 2024.

Lokakarya kedua ini tidak lagi digabungkan dengan kegiatan di Sorong, melainkan difokuskan di Fakfak. Sebelumnya, tim bekerja sama dengan Gugus Raja Ampat Hiren Koka, yang juga menangani penerjemahan Alkitab ke dalam empat bahasa lainnya di Raja Ampat.

Meskipun program ini telah berjalan dengan baik, tantangan utama yang dihadapi adalah masalah pendanaan. Pdt Helweldery menegaskan bahwa program ini harus belajar mandiri dan tidak sepenuhnya bergantung pada donatur.

“Kami berharap pemerintah daerah dapat memberikan dukungan, karena program ini berkontribusi pada pelestarian budaya dan pengembangan sumber daya manusia,” ujarnya.

Selain itu, program ini juga bertujuan untuk mempersiapkan generasi penerus dalam bidang penerjemahan Alkitab. “Kami berencana melibatkan mahasiswa teologi yang memiliki minat khusus di bidang ini,” kata Pdt Helweldery.

Ia juga menekankan pentingnya kerja sama antar gereja, karena program ini bersifat oikumenis dan melibatkan berbagai denominasi gereja di Papua, termasuk GKI Papua dan Gereja Katolik.

Pemilihan Injil Lukas sebagai fokus penerjemahan didasarkan pada kandungan teologis dan historisnya yang lengkap.

“Injil Lukas menceritakan kehidupan dan pelayanan Yesus Kristus dengan sangat detail, sehingga sangat cocok untuk memperkenalkan iman Kristen kepada masyarakat,” jelas Pdt Helweldery.

Program penerjemahan Alkitab bahasa Iha ini tidak hanya menjadi upaya pelestarian bahasa lokal, tetapi juga menjadi sarana untuk memperkuat iman masyarakat Papua.

Dengan terlibatnya masyarakat lokal dalam setiap tahapan, program ini diharapkan dapat membawa dampak positif bagi kehidupan spiritual dan budaya masyarakat Fakfak dan sekitarnya. (st/pr)