Jakarta – Kasus sengketa kepemilikan pabrik di Kawasan Industri Jatake, Tangerang, menjadi cermin tajam atas tantangan penegakan hukum di Indonesia. Dugaan penipuan, pemalsuan dokumen, dan penguasaan aset secara ilegal meskipun ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht), menimbulkan kekhawatiran serius, terutama bagi para investor asing yang menginginkan kepastian hukum.

Kasus ini menyeret nama Akira Takei, seorang pengusaha Jepang yang berinvestasi di industri kayu sejak 1990. Melalui kuasa hukumnya, Ujang Wartono, S.H., M.H., terungkap bahwa meskipun Mahkamah Agung telah mengabulkan gugatan Takei, asetnya masih dikuasai pihak ketiga yang mengklaim kepemilikan secara sepihak. Situasi ini menandakan bahwa perjuangan mencari keadilan bisa terhenti bukan karena lemahnya bukti, melainkan karena ketidaktegasan aparat dalam menegakkan keputusan hukum.

Investasi Akira Takei dimulai dengan pembelian lahan 4,2 hektar untuk mendirikan pabrik kayu. Sayangnya, pengelolaan perusahaan yang buruk oleh para direktur yang ditunjuk menyebabkan bisnis tersebut gagal, bahkan meninggalkan utang miliaran rupiah. Takei kemudian mengajukan gugatan hukum, yang akhirnya dimenangkan hingga tahap kasasi melalui putusan Mahkamah Agung No. 3295 K/PDT/1996.

Namun, persoalan tidak selesai di sana. Ketika eksekusi putusan hendak dijalankan, muncul pihak ketiga bernama Cristianto Noviadji Jhohan (Cris) yang mengklaim telah membeli pabrik tersebut dari Takei, meskipun pengadilan tidak menemukan bukti sahih terkait transaksi tersebut. Lebih rumit lagi, Cris justru menjual pabrik ke perusahaan swasta nasional, Paragon, meskipun aset tersebut masih berstatus sita eksekusi.

Dalam proses konstatering yang melibatkan aparat dan pejabat daerah, pihak Paragon tidak dapat menunjukkan dokumen kepemilikan yang valid. Yang lebih mencurigakan, status tanah yang semula Sertifikat Hak Milik (SHM) berubah menjadi Hak Guna Bangunan (HGB) tanpa prosedur yang jelas. Ini menjadi indikasi adanya celah yang dimanfaatkan pihak-pihak tertentu untuk memanipulasi status hukum aset.

“Kalau memang ada jual beli, seharusnya SHM yang berpindah tangan, bukan tiba-tiba berubah jadi HGB. Ini jelas ada yang tidak beres,” ujar Ujang Wartono, menegaskan adanya kejanggalan dalam administrasi pertanahan yang seharusnya menjadi perhatian serius.

Kasus ini lebih dari sekadar sengketa bisnis. Ketika putusan pengadilan yang inkracht bisa diabaikan, hal ini berpotensi merusak kepercayaan investor asing terhadap keamanan berusaha di Indonesia. Kepastian hukum adalah fondasi utama dalam membangun iklim investasi yang sehat, dan jika penegakan hukum masih lemah, maka risiko berinvestasi di Tanah Air akan dianggap terlalu tinggi.

“Kalau kasus seperti ini dibiarkan, investor asing pasti pikir dua kali sebelum masuk ke Indonesia. Ini bukan hanya soal Akira Takei, ini menyangkut reputasi hukum kita di mata dunia,” ujar Ujang.

Meski menghadapi jalan terjal, Ujang Wartono menegaskan akan terus memperjuangkan hak kliennya melalui jalur hukum, baik pidana maupun perdata. Dugaan penipuan, pemalsuan dokumen, hingga perusakan aset akan dilaporkan ke pihak berwenang untuk memastikan keadilan benar-benar ditegakkan.

Kasus ini menjadi pengingat bahwa memperkuat integritas dan ketegasan aparat penegak hukum adalah langkah mutlak jika Indonesia ingin menjadi magnet investasi global. Sebab, tanpa kepastian hukum, potensi ekonomi sebesar apa pun bisa redup di tengah ketidakpastian. (rls/pr)

Dapatkan berita terupdate dari PrimaRakyat.Com di: