Oleh: Dr. Ronald Helweldery, M.Si
Kepemimpinan daerah tidak bisa lepas dari konstruksi dan dinamika serta aspirasi sosial-budaya dan masyarakat lokal.

Pengalaman Kabupaten Fakfak sebagai rumah kehidupan di mana kami mengabdi dan beraktifitas riset menunjukkan bahwa keterikatan batin sosio-kultural antara kepemimpinan daerah (eksekutif dan legislatif) dan masyarakat lokal sangat menentukan orientasi dan kedalaman serta kesungguhan dan ketulusan para pemimpin daerah mngabadi daerah dan masyarakat.
Interelasi dan interaksi sosio-kultural ini merupakan bagian asasi dari penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan serta pelayanan masyarakat yang berbasis dan berakar dalam kebudayaan lokal.
Masyarakat lokal adalah tuan rumah sosial-budaya suatu daerah.


Kebudayaan lokal adalah tatanan nilai, moral dan aspirasi serta perspektif yang harusnya menjadi sumber belajar dan matriks pengembangan diri kepemimpinan.
Ini butuh empati yakni keterlibatan diri total para pemimpin dalam mengalami dan merasakan serta memahami kedalaman aspirasi dan pergumulan masyarakat lokal.
Empati ini adalah empati tulu dan jujur, bukan sikap artifisial yang dibuat-buat atau dipoles-poles. Ingat: masyarakat lokal dalam kesederhanaan mereka sangat peka dan paham diri kita dalam bakti di tengah kehidupan mereka
Kultur masyarakat lokal Fakfak berakar dalam komunikasi-komunikasi sosial yang sangat dalam butuh kehalusan batin (hati).
Rasionalitas modern lebih berakar dalam rasionalitas pragmatis yang berorientasi ‘bagaimana mendapat sesuatu keuntungan dengan menggunakan seminimal mungkin usaha’.
Dalam kultur politik kita rasionalitas pragmatis-taktis ini telah membuahkan antara lain ‘money politics’ yang skrg diubah menjadi ‘biaya politik’ yang wajar digulirkan. Dalam kecenderungan ini manusia atau masyarakat dipandang dan diperlakukan sbgi orang-orang yang mudah dimanipulasi hanya dengan tawaran uang dan fasilitas.
Bahaya lain terjadi manipulasi sikap: tiba-tiba jadi manis dan baik hati serta dermawan tuk menciptakan imaji politik.
Masyarakat lokal memiliki strategi budaya tandingan sebagai perlawanan dan kritik keras pada kecenderungan2 budaya politik pragmatis-taktis. (—)
Tinggalkan Balasan