Saumlaki – Politisi Partai Nasional Demokrat (NasDem) di Kabupaten Kepulauan Tanimbar, Simon Lolonlun menyatakan, salah satu kebutuhan penting bagi masyarakat adat d Kepulauan Tanimbar adalah pentingnya Peraturan Daerah (Perda) tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat Tanimbar.
Pernyataan Simon ini disampaikan dalam orasi politiknya di depan ribuan warga yang memadati lapangan Tanimbar Raya, Saumlaki, Senin (5/2/2024).
“Pasal 18 B UUD 1945 menyebutkan bahwa “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya, sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip-prinsip NKRI, yang diatur dalam undang-undang,” ujarnya.
Sejalan dengan itu, ada sejumlah regulasi yang mengatur tentang proses percepatan penyusunan produk hukum di daerah tentang Pengakuan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat (PPMHA).
Permendagri nomor 52 Tahun 2014 tentang pedoman pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat menyebutkan bahwa masyarakat adat harus memenuhi lima indikator, yaitu Wilayah adat, Sejarah, Hukum adat, Lembaga adat, dan Benda-benda adat/pusaka.
“Negara telah memberi ruang penghargaan terhadap kondisi sosio kultur masyarakat, sepanjang ada regulasi di daerah tentang pengakuan. Namun sampai hari ini, Kabupaten Kepulauan Tanimbar belum memiliki Perda PPMHA. Padahal semestinya ada perda untuk menjadi acuan dalam pengambilan keputusan yang pro terhadap masyarakat hukum adat” kata Simon.
Ketua Yayasan Sor Silai Tanimbar ini menyebutkan bahwa dalam kurun beberapa waktu belakangan ini, lembaganya telah melakukan berbagai gebrakan untuk mendorong terbitnya Perda PPMHA.
“Saya sudah lupa waktunya, tetapi di saat itu, kami melakukan rapat dengar pendapat dengan pimpinan dan anggota DPRD Kabupaten Kepulauan Tanimbar. Kami mendorong perlu segera dilakukan penyusunan Perda PPMHA. Bahkan kami menawarkan untuk menyusun draftnya. Hal ini kemudian disetujui oleh pimpinan DPRD, dan berjanji akan diagendakan di masa sidang kedua tahun itu. Alhasil, hingga saat ini tidak ada satupun yang peduli,” katanya.
Menurutnya, perda PPMHA memiliki ruang lingkup yang mengatur tentang keberadaan masyarakat hukum adat, hak dan kewajiban masyarakat hukum adat, wilayah adat, kelembagaan adat, hukum adat, pengelolaan dan pemanfaatan SDA, penyelesaian sengketa dan hal-hal lain yang dianggap penting.
“Konflik tenurial yang dialami oleh masyarakat adat di Tanimbar, sudah berlangsung lama bahkan sejak zaman kolonial,” katanya.
Untuk mengurangi konflik yang berkepanjangan Pemerintah kemudian mengeluarkan beberapa kebijakan sebagai upaya menyelesaikan konflik. Namun beberapa kebijakan yang dikeluarkan seperti Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) dan Perhutanan Sosial (PS), dinilai belum dapat menjawab masalah masyarakat seutuhnya.
Simon juga memuji Bupati Kepulauan Tanimbar periode 2017-2022, Petrus Fatlolon yang berani menutup operasional PT. Karya Jaya Berdikari, salah satu perusahaan penebangan hutan yang mengantongi Izin Usaha Pengelolaan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) dari Kementerian LHK untuk mengelola hutan di pulau Yamdena, Tanimbar.
Meskipun demikian, keberanian Fatlolon tidak didukung dengan adanya Perda yang mengatur tentang hak hak MHA Tanimbar yang adalah salah satu instrumen untuk memperjuangkan registrasi wilayah adat hingga pengusulan dan penetapan hutan adat.
“Ini mengindikasikan bahwa wakil rakyat kita belum peduli dengan kebutuhan dasar MHA Tanimbar. Mereka lebih mementingkan hal lain yang mungkin saja bisa mendatangkan keuntungan lebih bagi kepentingan pribadi dan kelompok tertentu,” kesannya.
Karena kondisi ini, Simon sempat menyentil syarat untuk mengukur kualitas anggota DPRD. Menurut dia, kualitas anggota DPRD bukan diukur dari masa reses, karena itu hak rakyat yang disediakan oleh negara yaitu anggota DPR datang menjumpai konstituen di Dapil masing-masing untuk menjaring, menampung aspirasi konstituen serta melaksanakan fungsi pengawasan. (bn/pr)
Tinggalkan Balasan